Senin, 14 September 2015

G. Penanggungan 1.653 MDPL



Berbicara soal gunung penangungan, kemarin saya dan enam sahabat saya telah diberikan kesempatan untuk mencumbuinya. Naik gunung memang bukan hal yang aneh lagi. Toh, siapapun sebenarnya bisa berkesempatan mencoba merasakan sensasinya. Tapi kebanyakan orang menganggap bahwa naik gunung hanya sekedar trend dan bukan untuk hal yang lebih penting. Kenapa begitu, karena ada saja orang songong  yang bersikeras naik gunung dengan persiapan yang cukup memprihatinkan dan yang mereka cari hanya sekedar view yang bagus di kamera lalu bisa dipamerkan dan di pajang di Medsos, meskipun  tidak semuanya berfikir demikian. Padahal ada yang bisa di dapat lebih dari itu. Kita bisa mengenal diri kita, alam dan Tuhan. 


Tepat tanggal 19 Mei 2015 sekitar pukul 14.30 WIB perjalanan dimulai dari rumah seorang sahabat yang bertempat tinggal di Trowulan, Mojokerto dan kami sampai di Trawas, salah satu pintu masuk menuju gunung Penangungan sekitar pukul 16.00 WIB lalu kami besantai sebentar dan memulai pendakian pukul 16.30 WIB. Bagi pengunjung yang mengendarai motor dipersilahkan karena parkirannya sudah aman.










Sebenarnya kami merencanakan perjalanan ini sekitar 3 bulan yang lalu tapi berhubung ada satu dan lain hal akhirnya terealisasi baru kemarin. Awalnya memang ada sedikit keraguan karena dari 7 anggota, ada 2 perempuan yang masih baru dengan kegiatan seperti ini. Tapi kami yakin pendakian ini akan lancar selama kami tidak macam-macam. 

Tapi ada cobaan, dari pos 1 menuju pos 2 yang berjarak 2 Km ada teman yang sudah lemas dan kecapekan. Akhirnya kami pun melakukan perjalanan dengan santai. Padahal sebelumnya sudah diperingatkan bahwa olahraga sangatlah penting dan kesehatanlah yang utama. Tapi ada saja alasan untuk tidak melakukannya, mulai dari alasan karena gunungnya  sudah bersahabat (yang ini songong), tidak ada waktu (lebih songong), bahkan beranggapan kalau dirinya kuat (paling songong).

Tapi kenyataannya kita memang haram meremehkan gunung. Sekuat apapun kita, manusia memang ada batasnya. Sudah banyak cerita beredar di gunung penanggungan (1653 Mpdl) ini, ada beberapa kasus, pengunjung terlalu asyik dan ceroboh akhirnya terpeleset dan cidera. Dan yang rugi juga kan diri sendiri, niatnya senang-senang malah dapat musibah seperti itu. Jadi sebaiknya kita harus bisa jaga diri dan kelakuan kita selama digunung. 

Dari pukul 16.30 WIB, kami sampai di puncak bayangan sekitar pukul 22.00 WIB karena memang keselamatan kami semua yang utama, kami memilih menikmati pendakian ini. Setelah berkutat dengan tenda, akhirnya kami bisa beristirahat dengan sebelumnya kami memasak. Sekedar informasi, mungkin kebanyakan dari kita kalau naik gunung makanan yang paling sering dibawa adalah mie instan, padahal mie instan bukanlah makanan yang baik buat kita. 

Sebelum kami memulai pendakian, ada petugas yang menyarankan lebih baik makan roti daripada mie instan, karena mengkonsumsi mie instan bisa membuat badan kita menjadi lemas. Dan yang benar saja, itu dirasakan beberapa teman saya yang makan mie instan. Mereka merasakan badannya lemas, jadi lebih baik makan roti dengan susu dan keju. 

Oh iyaah.. memang hal yang penting disiapkan selain mental dan makanan, air  juga sangat penting. Kami sempat tersiksa karena persediaan air yang menipis apalagi keadaan gunung penangungan yang tidak terdapat mata air. Sekalipun gunung ini bisa didaki sehari (pulang-pergi), tapi kami lebih memilih menginap untuk bisa melihat sunrise

Setelah beristirahat, sekitar pukul 02.00 WIB kami berniat memulai pendakian ke puncak tapi ada cobaan lagi karena ada salah satu teman kami yang mengalami sesak nafas, mungkin karena belum terbiasa dengan keadaan seperti itu. Untunglah langsung dilakukan pertolongan pertama dan beberapa saat kemudian kesehatannya mulai pulih. Sebenarnya kami menyarankan dia untuk tetap tinggal di tenda tapi karena keinginannya, akhirnya kami memperbolehkan dia untuk ikut naik ke puncak. 

Pendakian kami pun cukup lambat, karena tidak mungkin kan kami memaksanya berjalan cepat. Akhirnya sekitar pukul 04.00 WIB kami sudah menginjakan kaki di puncak pawitra. Perjalanan kami panjang, tapi semua terbayar dengan keindahan yang diberikan Tuhan melalui alamnya. Rasa lelah dan capek pun terbayar lunas. Sudah tidak terasa lagi kaki yang pegal saat berjalan jauh, atau tentang baju yang kotor karena medan yang menurut saya cukup menantang. Semuanya hilang karena pada titik tersebut saya merasa dekat sekali dengan Tuhan. Saya merasa saya bukanlah apa-apa dibandingkan semesta. Hanya ada syukur yang selalu terucap dan senyum kebahagiaan karena saya bisa mengalahkan diri saya sendiri.
 







Melihat sunrise 20 Mei terasa istimewa, ada cerita yang suatu saat nanti akan saya ceritakan untuk anak-anak saya. Di puncak pawitra dengan kabut tebal yang indah mulai naik dan menghampiri kami, dengan keindahan kota Batu, Malang dan sekitarnya. Memang gunung selalu membuat rindu. Dengan sejuta kisah yang tersimpan di dalamnya. 
  
Sekitar pukul 08.00 WIB dengan matahari yang sudah naik dan cukup membuat kami hangat, kami pun memutuskan untuk turun. Ada perasaan takut di benak saya. Karena notabene saya orang dengan phobia ketinggian. Keadaan seperti itu yang kadang membuat saya tersiksa. Tapi yang membuat saya lebih memilih mendaki daripada ngemall seperti kebanyakan perempaun lain adalah dengan phobia saya ini saya bisa mencumbui gunung, berani berada dipuncak dan mengalahkan rasa takut saya sendiri. Sekalipun saat turun selalu membuat jantung saya berdetak cukup kencang dan turun saya pun kadang sambil dengan duduk. Tapi tak ada kata menyerah untuk keadaan seperti itu. 


Setelah sampai ditenda lagi, kami mulai berkemas-kemas untuk persiapan turun. Yang saya tau, kami hanya menjadi tamu disana dan sebagai tamu kami harus bertangung jawab dengan sampah yang sudah kami bawa. Jadi sampah harus dibawa bersama kepulangan kami. Kami tidak tega mengotori apa yang sudah memberikan kami tempat dengan baik.




Perjalanan pulang juga terasa panjang, kami mulai turun pukul 10.00 WIB  dan sampai pos 1 pukul 17.30 WIB karena kami harus tetap menjaga teman kami yang lelah tapi ini yang membuat semuanya terasa ringan.






Banyak hal yang bisa di dapatkan dari sebuah pendakian, mulai dari kekompakan, kesederhanaan dan batas diri. Kita meninggalkan semua kesombongan, keangkuhan. Hanya ada dua jalan, menyelamatkan diri kita sendiri atau menunggu diselamatkan Tim SAR. Kita bukanlah apa-apa, bukan siapa-siapa. Kita di anugerahkan mata untuk melihat, kaki untuk berjalan juga hati dan pikiran. Tuhan telah memberikan keindahan yang terdapat di semesta ini. Jadi janganlah lagi untuk meminta tapi cobalah untuk menerimanya, menjaganya. Jangan  sekali-kali mencoba merusaknya. Karena kita hanyalah tamu. Semoga generasi kita selanjutnya bisa merasakan keindahan ini. Semogaa.


Salam,



Aruna

 


20 Mei 2015     


Tulisan ini juga di publikasikan di Belantara Indonesia klik  Disini








2 komentar: