Berbicara soal gunung
penangungan, kemarin saya dan enam sahabat saya telah diberikan kesempatan
untuk mencumbuinya. Naik gunung memang bukan hal yang aneh lagi. Toh, siapapun
sebenarnya bisa berkesempatan mencoba merasakan sensasinya. Tapi kebanyakan
orang menganggap bahwa naik gunung hanya sekedar trend dan bukan
untuk hal yang lebih penting. Kenapa begitu, karena ada saja orang songong
yang bersikeras naik gunung dengan persiapan yang cukup memprihatinkan dan yang
mereka cari hanya sekedar view yang bagus di kamera lalu bisa dipamerkan dan di
pajang di Medsos,
meskipun tidak semuanya berfikir demikian. Padahal ada yang bisa di dapat
lebih dari itu. Kita bisa mengenal diri kita, alam dan Tuhan.
Tepat tanggal 19 Mei 2015 sekitar pukul 14.30 WIB perjalanan dimulai dari rumah seorang sahabat yang bertempat tinggal di Trowulan, Mojokerto dan kami sampai di Trawas, salah satu pintu masuk menuju gunung Penangungan sekitar pukul 16.00 WIB lalu kami besantai sebentar dan memulai pendakian pukul 16.30 WIB. Bagi pengunjung yang mengendarai motor dipersilahkan karena parkirannya sudah aman.
Sebenarnya kami merencanakan perjalanan ini
sekitar 3 bulan yang lalu tapi berhubung ada satu dan lain hal akhirnya
terealisasi baru kemarin. Awalnya memang ada sedikit keraguan karena dari 7
anggota, ada 2 perempuan yang masih baru dengan kegiatan seperti ini. Tapi kami
yakin pendakian ini akan lancar selama kami tidak macam-macam.
Tapi ada cobaan, dari pos 1 menuju pos 2 yang
berjarak 2 Km ada teman yang sudah lemas dan kecapekan. Akhirnya kami pun
melakukan perjalanan dengan santai. Padahal sebelumnya sudah diperingatkan
bahwa olahraga sangatlah penting dan kesehatanlah yang utama. Tapi ada saja
alasan untuk tidak melakukannya, mulai dari alasan karena gunungnya sudah
bersahabat (yang ini songong), tidak ada waktu (lebih
songong), bahkan beranggapan kalau dirinya kuat (paling songong).
Tapi kenyataannya kita memang haram meremehkan
gunung. Sekuat apapun kita, manusia memang ada batasnya. Sudah banyak cerita
beredar di gunung penanggungan (1653 Mpdl) ini, ada beberapa kasus, pengunjung
terlalu asyik dan ceroboh akhirnya terpeleset dan cidera. Dan yang rugi juga
kan diri sendiri, niatnya senang-senang malah dapat musibah seperti itu. Jadi
sebaiknya kita harus bisa jaga diri dan kelakuan kita selama digunung.
Dari pukul 16.30 WIB, kami sampai di puncak
bayangan sekitar pukul 22.00 WIB karena memang keselamatan kami
semua yang utama, kami memilih menikmati pendakian ini. Setelah berkutat dengan
tenda, akhirnya kami bisa beristirahat dengan sebelumnya kami memasak. Sekedar
informasi, mungkin kebanyakan dari kita kalau naik gunung makanan yang paling
sering dibawa adalah mie instan, padahal mie instan bukanlah makanan yang baik
buat kita.
Sebelum kami memulai pendakian, ada petugas yang
menyarankan lebih baik makan roti daripada mie instan, karena mengkonsumsi mie
instan bisa membuat badan kita menjadi lemas. Dan yang benar saja, itu
dirasakan beberapa teman saya yang makan mie instan. Mereka merasakan badannya
lemas, jadi lebih baik makan roti dengan susu dan keju.
Oh iyaah.. memang hal yang penting disiapkan
selain mental dan makanan, air juga sangat penting.
Kami sempat tersiksa karena persediaan air yang menipis apalagi keadaan gunung
penangungan yang tidak terdapat mata air. Sekalipun gunung ini bisa didaki sehari
(pulang-pergi), tapi kami lebih memilih menginap untuk bisa melihat sunrise.
Setelah beristirahat, sekitar pukul 02.00 WIB
kami berniat memulai pendakian ke puncak tapi ada cobaan lagi karena ada salah
satu teman kami yang mengalami sesak nafas, mungkin karena belum terbiasa
dengan keadaan seperti itu. Untunglah langsung dilakukan pertolongan pertama
dan beberapa saat kemudian kesehatannya mulai pulih. Sebenarnya kami
menyarankan dia untuk tetap tinggal di tenda tapi karena keinginannya, akhirnya
kami memperbolehkan dia untuk ikut naik ke puncak.
Pendakian kami pun cukup lambat, karena tidak
mungkin kan kami memaksanya berjalan cepat. Akhirnya sekitar pukul 04.00 WIB
kami sudah menginjakan kaki di puncak pawitra. Perjalanan kami
panjang, tapi semua terbayar dengan keindahan yang diberikan Tuhan melalui
alamnya. Rasa lelah dan capek pun terbayar lunas. Sudah tidak terasa lagi kaki
yang pegal saat berjalan jauh, atau tentang baju yang kotor karena medan yang
menurut saya cukup menantang. Semuanya hilang karena pada titik tersebut saya
merasa dekat sekali dengan Tuhan. Saya merasa saya bukanlah apa-apa
dibandingkan semesta. Hanya ada syukur yang selalu terucap dan senyum
kebahagiaan karena saya bisa mengalahkan diri saya sendiri.
Melihat sunrise 20 Mei terasa istimewa, ada
cerita yang suatu saat nanti akan saya ceritakan untuk anak-anak saya. Di puncak pawitra
dengan kabut tebal yang indah mulai naik dan menghampiri kami, dengan keindahan
kota Batu, Malang dan sekitarnya. Memang gunung selalu membuat rindu. Dengan
sejuta kisah yang tersimpan di dalamnya.
Sekitar pukul 08.00 WIB dengan matahari yang
sudah naik dan cukup membuat kami hangat, kami pun memutuskan untuk turun. Ada
perasaan takut di benak saya. Karena notabene saya orang dengan phobia ketinggian.
Keadaan seperti itu yang kadang membuat saya tersiksa. Tapi yang membuat saya
lebih memilih mendaki daripada ngemall seperti kebanyakan perempaun lain adalah
dengan phobia saya ini saya bisa mencumbui gunung, berani berada dipuncak dan mengalahkan
rasa takut saya sendiri. Sekalipun saat turun selalu membuat jantung saya
berdetak cukup kencang dan turun saya pun kadang sambil dengan duduk. Tapi tak
ada kata menyerah untuk keadaan seperti itu.
Setelah sampai ditenda lagi, kami mulai berkemas-kemas
untuk persiapan turun. Yang saya tau, kami hanya menjadi tamu disana dan
sebagai tamu kami harus bertangung jawab dengan sampah yang sudah kami bawa.
Jadi sampah harus dibawa bersama kepulangan kami. Kami tidak tega mengotori apa
yang sudah memberikan kami tempat dengan baik.
Perjalanan pulang juga terasa panjang, kami mulai
turun pukul 10.00 WIB dan sampai pos 1 pukul 17.30 WIB karena kami harus
tetap menjaga teman kami yang lelah tapi ini yang membuat semuanya terasa
ringan.
Banyak hal yang bisa di dapatkan dari sebuah
pendakian, mulai dari kekompakan, kesederhanaan dan batas diri. Kita
meninggalkan semua kesombongan, keangkuhan. Hanya ada dua jalan, menyelamatkan
diri kita sendiri atau menunggu diselamatkan Tim SAR. Kita
bukanlah apa-apa, bukan siapa-siapa. Kita di anugerahkan mata untuk melihat,
kaki untuk berjalan juga hati dan pikiran. Tuhan telah memberikan keindahan
yang terdapat di semesta ini. Jadi janganlah lagi untuk meminta tapi cobalah
untuk menerimanya, menjaganya. Jangan sekali-kali mencoba merusaknya.
Karena kita hanyalah tamu. Semoga generasi kita selanjutnya bisa merasakan keindahan
ini. Semogaa.
Salam,
Aruna
20 Mei 2015
It was an awesome sight to behold :-)
BalasHapusUapikeee sayank gak jak jak ul
BalasHapus